Daripada Kumpulan Intelek Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Para pecinta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin hari semakin bertambah rasa rindu dan cinta mereka kepada beliau. Mereka semakin mengenal sosok makhluk yang diistimewakan oleh Allah Ta’alaa, mereka semakin mengetahui sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semakin bersemangat untuk berusaha mengikuti langkah-langkah mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini semua tidak ada lain dan bukan adalah hasil perjuangan dakwah para ulama kita yang peduli kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu menyeru umatnya kembali dalam manhaj nubuwwah, jalan yang lurus. Mereka berdakwah di setiap keadaan, di setiap tempat dengan berbagai macam sarana dakwah yang kreatif yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga kini. Salah satunya dengan membacakan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah banyak terbukukan, baik dalam bentuk prosa maupun syair atau qasidah. Kemudian dibarengi dengan pemukulan rebana yang teratur dan seirama dengan lantunan qasidah-qasdiah yang berisikan pujian kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Sehingga membuat hati yang hadir terharu mendengarnya, sedih atau susah mendengar perjuangan berat Nabi, sedih karena tidak mampu membalas jasa perjuangan Nabi, rindu karena ingin sekali berjumpa dengan Nabi walau hanya dalam mimpi.
Di saat kaum muslimin itu sedang penuh semangat dan rindu yang bergelora dalam majlis-majlis mauled mereka, ada sebagian orang kerdil yang mengusik program sarana dakwah tersebut, dengan tuduhan-tuduhan buruk dan tak pantas terlontarkan sebagai umat Islam. Mereka menuduh mauled bid’ah sesat, mereka mengatakan melantunkan qasdiah atau nasyid di dalam masjid itu bid’ah sesat, mereka mengatakan memukul rebana di dalam masjid itu haram dan bid’ah sesat. Berikut kami akan menjawab tuduhan-tuduhan keji mereka tersebut…
Masalah maulid telah kami bahas tuntas di artikel-artikel sebelumnya mulai isu tarikh kelahiran Nabi, sejarah peringatan Maulid, dan bantahan ilmiyyah lainnya yang terkait maulid.
Adapun isu membaca qasidah atau nasyid islami yang berisikan pujian kepada Nabi dan ungkapan rasa syukur kepada Allah di dalam masjid, maka kami jawab sebagai berikut :
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair atau qasidah di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
“ Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair atau qasidah yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.[1]
Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, sarana dakwah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah Ta’ala, pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dzikir dan nasihat.
Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair atau qasidah yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana, kadang larut dalam keridnuan dan kecintaan kepada Allah dan Nabi hingga meneteskan air mata. Ini merupakan suatu hal yang baik dan bahkan dianjurkan dalam hal mengingat Allah dan Rasul-Nya.
Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu (bosan) yang kadang muncul ketika duduk lama di dalam majlis. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca qasidah pujian, nasehat, atau doa secara dilantunkan bersama-sama di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing. Faktanya pada saat acara, seluruh maysarakat mulai masyarakat setempat, pengurus dan takmir masjid juga para panitia atau pun masyarakat yang diundang, sudah sepakat dalam mengkondisikan suasana. Maka hal ini tidak akan menimbulkan gangguan kepada masyarakat setempat
Hukum memukul rebana di dalam masjid:
Imam al-Ghazali mengatakan :
فهذه المقاييس والنصوص تدل على إباحة الغناء والرقص والضرب بالدف واللعب بالدرق والحراب والنظر إلى رقص الحبشة والزنوج في أوقات السرور كلها قياسا على يوم العيد فإنه وقت سرور وفي معناه يوم العرس والوليمة والعقيقة والختان ويوم القدوم من السفر وسائر أسباب الفرح وهو كل ما يجوز به الفرح شرعا ويجوز الفرح بزيارة الإخوان ولقائهم واجتماعهم في موضع واحد على طعام أو كلام فهو أيضا مظنه السماع
“ Segala qias (analogi) dan dalil-dalil tadi, menunjukkan kepada pembolehan menyanyi, menari, memukul genderang, bermain perisai dan lembing dan melihat tarian orang Habsyi dan orang hitam pada waktu-waktu kegembiraah, diqiaskan (di-analogi-kan) kepada hari lebaran. Karena hari lebaran itu adalah hari kegembiraan.
Dan yang searti dengan hari lebaran, ialah : hari perkawinan, hari pesta kawin (walimah), ‘aqiqah,. pengkhitanan, hari kedatangan dari perjalanan jauh (musafir) dan sebab-sebab kegembiraan yang lain. Yaitu : semua yang diperbolehkan kegembiraan pada Agama. Dan boleh bergembira dengan mengunjungi teman-teman, menjumpai dan berkumpul dengan mereka pada suatu tempat, untuk makan-makan atau bercakap-cakap. Maka itupun tempat dugaan boleh mendengarnya juga.”[2]
Beliau juga mengatakan :
العارض الثاني في الآلة بأن تكون من شعار أهل الشرب و المخنثين وهي المزامير والأوتار وطبل الكوبة، فهذه ثلاثة أنواع ممنوعة وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه الجلاجل. وفي كتاب إتحاف السادة المتقين لمرتضى الزبيدي الفقيه المحدث الحافظ ما نصه: وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه جلاجل
“ Sisi keadaan kedua dari alat as-Sima’ yang menyebabkan as-Sima’ itu haram yaitu alat atau perkakas itu menjadi simbul peminum khomr atau orang yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Yaitu : serunai, rebab, dan genderang yang kecil tengahnya. inilah tiga macam pekakas yang terlarang. Dan selain dari itu, tetap pada hokum aslinya yakni diperbolehkan. Seperti : rebana, walaupun ada padanya genta “.[3]
Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’I memperbolehkannya :
قال الشيخان، أي الرافعي والنووي رحمهما الله تعالى: حيث أبحنا الدف فهو فيما إذا لم يكن فيه جلاجل، فإن كانت فيه فالأصح حلّه أيضًا
“ Dua syaikh yakni ar-Rafi’I dan an-Nawawi rahimahumallah mengatakan, “ Sekiranya kami telah memperbolehkan rebana yakni yang tidak ada gentanya, tapi jika ada gentanya maka pendapat yang sahih pun juga membolehkannya “.[4]
وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا
“ Hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana di masjid-masjid, dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. Adapun penukilan hal itu dari ulam salaf, maka telah berkata seorang wali Abu Zur’ah dalam Tahrirnya bahwa itu sah dari syaikh Izzuddin bin Abdissalam dan Ibnu Daqiq al’Iid, dan keduanya adalah pemimpin ulama mutakhkhirin dalam segi keilmuan dan kewara’annya, sebagian mereka juga menukilnya dari syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi rahimahullah, dan cukup dengannya seorang ulama yang wara’ dan mujtahid “.[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إن النبي صلى الله عليه وسلم جاءته امرأة يا رسول الله : إني نذرت إن رد الله ابني من السفر سالما أن أضرب على رأسك بالدف في المسجد وقد قدم ابني من السفر فقال لها أوفي بنذرك وضربت عليه الدف في المسجد
“ Sesungguhnya Nabi SAW didatangi oleh seorang wanita, dan berkata, “Ya Rasulallah.. seungguhnya saya bernadzar, bila Allah mengembalikan putraku dengan selamat dari perjalanan, maka saya akan memukulkan rebana diatas kepala anda didalam masjid, dan putra saya sekarang sudah kembali. Maka Rasulullah berkata padanya, “Laksanakanlah nadzarmu.” Dan perempuan itu lantas memukul rebana diatas Nabi SAW didalam masjid.”
Dari sinilah maka hukum memukul rebana di dalam masjid adalah boleh. Meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, maka tidak sedikit ulama lain yang alim dan wara’ yang membolehkannya sebagaimana telah kami sebutkan di atas. Maka silakan yang memilih fatwa haram untuk tidak melakukannya, namun jangan melarang kami yang melakukannya apalagi sampai menuduh kami telah berbuat bid’ah sesat. Karena ini hanyalah masalah fiqhiyyah yang masih ada ruang ijtihad di Antara ulama.
Qasidah syirik dan bid’ah.
Baru-baru ini ada di Antara mereka yang menuduh bacaan qasidah yang biasa dilantunkan jama’ah mauled yaitu “ Ya Hanana “ adalah syirik dan bid’ah. Jelas ini tuduhan yang tidak berdasar sama sekali yang timbul semata-mata dari hawa nafsu mereka saja.
Andai saja mereka bersifat bijak dengan membaca makna-makna bait dari qasidah tersebut, niscaya mereka akan malu dan tahu bahwa makna dari qasidah tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah. Kita simak…
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami “
ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد بِظُهُورِالنَّبِى اَحمَد
“ Telah muncul agama yang didukung, dengan munculnya sang Nabi Ahmad “
يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله
“ Betapa beruntungnya kami dengan Muhammad (Saw), itulah anugerah daripada Allah SWT “
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami “
خُصَّ بِالسَّبعِ المَثَانِى وَحَوى لُطفَ المَعَأنِى
“ Diistimewakan dengan as-Sab’ul Matsany (al-Fatihah), penghimpun rahsia bagi setiap makna “
مَالَهُ فِى الخَلقِ ثَانِى وَعَلَيهِ اَنزَلَ الله
“ Tidak ada yang senilai dengannya, dan Allah mewahyukan kepadanya (Muhammad SAW) “
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami”
مِن مَكَّةٍ لَمَّا ظَهَر لِاَجلِهِ انشَقَ القَمَر
“ Ketika di Makkah bulan tampak terbelah deminya (Muhammad SAW) “
وَافتخَرَت الُ مُضَر بِهِ عَلى كُلِّ الاَنَام
“ lalu kabilah Mudhar (kabilah Muhammad SAW) dibanggakan oleh seluruh manusia “.
يَاهَانَانَأ
“ Betapa beruntungnya kami “
اَطيَبُ النَّاسِ خَلقًا وَاَجَلُّ النَّاسِ خُلُقُا
“ Beliau adalah manusia yang terbaik ciptaanNya, dan teragung akhlaknya “.
ذِكرُهُ غَربًا وَشَرقًا سَائِرٌ وَالحَمدُ لِله
“ Semua manusia di Barat dan Timur menyebutnya, segala puji hanya bagi Allah SWT “
يَاهَنَانَا
“ Betapa beruntungnya kami “
صَلُّوا عَلى خَيرِ الاَنَام المُصطَفَى بَدرِالتَّمَام
“ Berselawatlah ke atas sebaik-baik manusia (Muhammad SAW) yang terpilih, sang bulan purnama “
صَلُّوا عَلَيهِ وَسَلِّمُوا يَشفَع لَنَأ يَومَ الزِّحَام
“ Sampaikanlah salam kepadanya, moga diberi syafaat di hari kebangkitan “.
يَا هَنَانَا
“ Betapa beruntungnya kami “
Di mana makna yang mengandung kesyirikan atau kesesatan ?? dalam bait qasidah di atas tidak lebih mengandung beberapa hal yaitu :
1. Rasa gembira dengan wujudnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan anugerah dan keutamaan dari Allah untuk umat Manusia khususnya kaum muslimin. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
قل بفضل الله وبرحمته فبذالك فاليفرحوا
” Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 57). Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menfasirkannya : “ Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad “.[6]
Beliau juga merupakan karunia agung yang Allah berikan untuk kita dan patut kita syukuri, dalam hadits disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُولَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: «مَا أَجْلَسَكُمْ؟» قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَابه، قَالَ: «آ? مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ». قَالُوا: وَالله! مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ قَالَ: «أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ المَلاَئِكَةَ
Dari Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam keluar mendatangi perkumpulan majlis sahabatnya lalu berkata, “ Hal apa gerangan yang membuat kalian berkumpul di majelis ini ? ”. Para sahabat menjawab, “ Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama Islam dan atas karunia yang diberikan-Nya dengan sebabnya “.Nabi bertanya kembali : “Demi Allah, apakah tidak ada hal lain lagi yang membuat kalian berkumpul di majelis ini selain hal itu? ” para shahabat menjawab, “ Demi Allah, tidak ada hal lain yang membuat kami berkumpul selain itu semua”. Nabi bersabda kepada mereka : “Sesungguhnya aku tidaklah bersumpah untuk suatu keburukan, akan tetapi sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengkhabarkan bahwa para malaikat sangat berbangga dengan kalian semua ”.[7]
Dari hadis ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : dibolehkannya berkumpul untuk berzikir dan berdoa, dibolehkannya membuat majelis tertentu untuk memperingati karunia hidayah dan syukur terhadap nikmat, dibolehkannya berkumpul untuk bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa diutusnya Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ucapan para sahabat “Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk memanjatkan doa kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama kita dan atas karunia yang diberikan-Nya. Bukankah Nabi Muhammad yang menjadi sebab kita mendapat hidayah Islam bahkan menjadi umat yang paling utama dari semua umat lainnya ??
2. Mengungkapkan bahwa beliau makhluk yang paling baik akhlak dan fisiknya. Ini juga sesuai dengan hadits Nabi sendiri :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجهاً وأحسنه خلقاً،
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah paling bagusnya manusia dari segi wajah dan akhlaknya “. (HR. Muslim)
3. Mengungkapkan bahwa nama beliau disebut-sebut oleh semua manusia sama ada barat ataupun Timur. Ini sangat banyak sekali dalilnya, bahkan merupakan perintah dari Allah untuk bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan setiap waktu bahkan setiap saat di dunia ini selalu disebutkan nama Nabi Muhamamd shallahllahu ‘alaihi wa sallam melalui lantunan adzan sholat lima waktu. Jelas sudah qasidah ini sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah, hanya orang bodoh yang menuduhnya syirik atau sesat. Naudzu billahi min dzaalik…
Shofiyyah an-Nuuriyyah
Pasuruan, 1-4-2014
[1] Irsyadul Mu’minin ila Fadha’ili Dzikri Rabbil ‘Alamin, hlm. 16
[2] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/276
[3] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/300-301
[4] Kaff ar-Ria’a ;an Muharramat al-Lahwi wa as-Sima’, Ibn Hajar al-Haitsami : 45
[5] Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra : 10/296
[6] Ad-Durr al-Mantsur, as-Suyuthi : 7/668
[7] Ditakhrij imam Muslim. Disebutkan dalam Tahdzib al-Kamal, al-Mizzi : 3196
Para pecinta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin hari semakin bertambah rasa rindu dan cinta mereka kepada beliau. Mereka semakin mengenal sosok makhluk yang diistimewakan oleh Allah Ta’alaa, mereka semakin mengetahui sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semakin bersemangat untuk berusaha mengikuti langkah-langkah mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini semua tidak ada lain dan bukan adalah hasil perjuangan dakwah para ulama kita yang peduli kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu menyeru umatnya kembali dalam manhaj nubuwwah, jalan yang lurus. Mereka berdakwah di setiap keadaan, di setiap tempat dengan berbagai macam sarana dakwah yang kreatif yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga kini. Salah satunya dengan membacakan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah banyak terbukukan, baik dalam bentuk prosa maupun syair atau qasidah. Kemudian dibarengi dengan pemukulan rebana yang teratur dan seirama dengan lantunan qasidah-qasdiah yang berisikan pujian kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Sehingga membuat hati yang hadir terharu mendengarnya, sedih atau susah mendengar perjuangan berat Nabi, sedih karena tidak mampu membalas jasa perjuangan Nabi, rindu karena ingin sekali berjumpa dengan Nabi walau hanya dalam mimpi.
Di saat kaum muslimin itu sedang penuh semangat dan rindu yang bergelora dalam majlis-majlis mauled mereka, ada sebagian orang kerdil yang mengusik program sarana dakwah tersebut, dengan tuduhan-tuduhan buruk dan tak pantas terlontarkan sebagai umat Islam. Mereka menuduh mauled bid’ah sesat, mereka mengatakan melantunkan qasdiah atau nasyid di dalam masjid itu bid’ah sesat, mereka mengatakan memukul rebana di dalam masjid itu haram dan bid’ah sesat. Berikut kami akan menjawab tuduhan-tuduhan keji mereka tersebut…
Masalah maulid telah kami bahas tuntas di artikel-artikel sebelumnya mulai isu tarikh kelahiran Nabi, sejarah peringatan Maulid, dan bantahan ilmiyyah lainnya yang terkait maulid.
Adapun isu membaca qasidah atau nasyid islami yang berisikan pujian kepada Nabi dan ungkapan rasa syukur kepada Allah di dalam masjid, maka kami jawab sebagai berikut :
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair atau qasidah di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
“ Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair atau qasidah yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.[1]
Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, sarana dakwah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah Ta’ala, pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dzikir dan nasihat.
Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair atau qasidah yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana, kadang larut dalam keridnuan dan kecintaan kepada Allah dan Nabi hingga meneteskan air mata. Ini merupakan suatu hal yang baik dan bahkan dianjurkan dalam hal mengingat Allah dan Rasul-Nya.
Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu (bosan) yang kadang muncul ketika duduk lama di dalam majlis. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca qasidah pujian, nasehat, atau doa secara dilantunkan bersama-sama di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing. Faktanya pada saat acara, seluruh maysarakat mulai masyarakat setempat, pengurus dan takmir masjid juga para panitia atau pun masyarakat yang diundang, sudah sepakat dalam mengkondisikan suasana. Maka hal ini tidak akan menimbulkan gangguan kepada masyarakat setempat
Hukum memukul rebana di dalam masjid:
Imam al-Ghazali mengatakan :
فهذه المقاييس والنصوص تدل على إباحة الغناء والرقص والضرب بالدف واللعب بالدرق والحراب والنظر إلى رقص الحبشة والزنوج في أوقات السرور كلها قياسا على يوم العيد فإنه وقت سرور وفي معناه يوم العرس والوليمة والعقيقة والختان ويوم القدوم من السفر وسائر أسباب الفرح وهو كل ما يجوز به الفرح شرعا ويجوز الفرح بزيارة الإخوان ولقائهم واجتماعهم في موضع واحد على طعام أو كلام فهو أيضا مظنه السماع
“ Segala qias (analogi) dan dalil-dalil tadi, menunjukkan kepada pembolehan menyanyi, menari, memukul genderang, bermain perisai dan lembing dan melihat tarian orang Habsyi dan orang hitam pada waktu-waktu kegembiraah, diqiaskan (di-analogi-kan) kepada hari lebaran. Karena hari lebaran itu adalah hari kegembiraan.
Dan yang searti dengan hari lebaran, ialah : hari perkawinan, hari pesta kawin (walimah), ‘aqiqah,. pengkhitanan, hari kedatangan dari perjalanan jauh (musafir) dan sebab-sebab kegembiraan yang lain. Yaitu : semua yang diperbolehkan kegembiraan pada Agama. Dan boleh bergembira dengan mengunjungi teman-teman, menjumpai dan berkumpul dengan mereka pada suatu tempat, untuk makan-makan atau bercakap-cakap. Maka itupun tempat dugaan boleh mendengarnya juga.”[2]
Beliau juga mengatakan :
العارض الثاني في الآلة بأن تكون من شعار أهل الشرب و المخنثين وهي المزامير والأوتار وطبل الكوبة، فهذه ثلاثة أنواع ممنوعة وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه الجلاجل. وفي كتاب إتحاف السادة المتقين لمرتضى الزبيدي الفقيه المحدث الحافظ ما نصه: وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة كالدف وإن كان فيه جلاجل
“ Sisi keadaan kedua dari alat as-Sima’ yang menyebabkan as-Sima’ itu haram yaitu alat atau perkakas itu menjadi simbul peminum khomr atau orang yang menyerupakan dirinya dengan wanita. Yaitu : serunai, rebab, dan genderang yang kecil tengahnya. inilah tiga macam pekakas yang terlarang. Dan selain dari itu, tetap pada hokum aslinya yakni diperbolehkan. Seperti : rebana, walaupun ada padanya genta “.[3]
Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’I memperbolehkannya :
قال الشيخان، أي الرافعي والنووي رحمهما الله تعالى: حيث أبحنا الدف فهو فيما إذا لم يكن فيه جلاجل، فإن كانت فيه فالأصح حلّه أيضًا
“ Dua syaikh yakni ar-Rafi’I dan an-Nawawi rahimahumallah mengatakan, “ Sekiranya kami telah memperbolehkan rebana yakni yang tidak ada gentanya, tapi jika ada gentanya maka pendapat yang sahih pun juga membolehkannya “.[4]
وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا
“ Hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana di masjid-masjid, dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. Adapun penukilan hal itu dari ulam salaf, maka telah berkata seorang wali Abu Zur’ah dalam Tahrirnya bahwa itu sah dari syaikh Izzuddin bin Abdissalam dan Ibnu Daqiq al’Iid, dan keduanya adalah pemimpin ulama mutakhkhirin dalam segi keilmuan dan kewara’annya, sebagian mereka juga menukilnya dari syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi rahimahullah, dan cukup dengannya seorang ulama yang wara’ dan mujtahid “.[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إن النبي صلى الله عليه وسلم جاءته امرأة يا رسول الله : إني نذرت إن رد الله ابني من السفر سالما أن أضرب على رأسك بالدف في المسجد وقد قدم ابني من السفر فقال لها أوفي بنذرك وضربت عليه الدف في المسجد
“ Sesungguhnya Nabi SAW didatangi oleh seorang wanita, dan berkata, “Ya Rasulallah.. seungguhnya saya bernadzar, bila Allah mengembalikan putraku dengan selamat dari perjalanan, maka saya akan memukulkan rebana diatas kepala anda didalam masjid, dan putra saya sekarang sudah kembali. Maka Rasulullah berkata padanya, “Laksanakanlah nadzarmu.” Dan perempuan itu lantas memukul rebana diatas Nabi SAW didalam masjid.”
Dari sinilah maka hukum memukul rebana di dalam masjid adalah boleh. Meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, maka tidak sedikit ulama lain yang alim dan wara’ yang membolehkannya sebagaimana telah kami sebutkan di atas. Maka silakan yang memilih fatwa haram untuk tidak melakukannya, namun jangan melarang kami yang melakukannya apalagi sampai menuduh kami telah berbuat bid’ah sesat. Karena ini hanyalah masalah fiqhiyyah yang masih ada ruang ijtihad di Antara ulama.
Qasidah syirik dan bid’ah.
Baru-baru ini ada di Antara mereka yang menuduh bacaan qasidah yang biasa dilantunkan jama’ah mauled yaitu “ Ya Hanana “ adalah syirik dan bid’ah. Jelas ini tuduhan yang tidak berdasar sama sekali yang timbul semata-mata dari hawa nafsu mereka saja.
Andai saja mereka bersifat bijak dengan membaca makna-makna bait dari qasidah tersebut, niscaya mereka akan malu dan tahu bahwa makna dari qasidah tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah. Kita simak…
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami “
ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد بِظُهُورِالنَّبِى اَحمَد
“ Telah muncul agama yang didukung, dengan munculnya sang Nabi Ahmad “
يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله
“ Betapa beruntungnya kami dengan Muhammad (Saw), itulah anugerah daripada Allah SWT “
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami “
خُصَّ بِالسَّبعِ المَثَانِى وَحَوى لُطفَ المَعَأنِى
“ Diistimewakan dengan as-Sab’ul Matsany (al-Fatihah), penghimpun rahsia bagi setiap makna “
مَالَهُ فِى الخَلقِ ثَانِى وَعَلَيهِ اَنزَلَ الله
“ Tidak ada yang senilai dengannya, dan Allah mewahyukan kepadanya (Muhammad SAW) “
يَا هَنَانَا
“ Betapa Beruntungnya Kami”
مِن مَكَّةٍ لَمَّا ظَهَر لِاَجلِهِ انشَقَ القَمَر
“ Ketika di Makkah bulan tampak terbelah deminya (Muhammad SAW) “
وَافتخَرَت الُ مُضَر بِهِ عَلى كُلِّ الاَنَام
“ lalu kabilah Mudhar (kabilah Muhammad SAW) dibanggakan oleh seluruh manusia “.
يَاهَانَانَأ
“ Betapa beruntungnya kami “
اَطيَبُ النَّاسِ خَلقًا وَاَجَلُّ النَّاسِ خُلُقُا
“ Beliau adalah manusia yang terbaik ciptaanNya, dan teragung akhlaknya “.
ذِكرُهُ غَربًا وَشَرقًا سَائِرٌ وَالحَمدُ لِله
“ Semua manusia di Barat dan Timur menyebutnya, segala puji hanya bagi Allah SWT “
يَاهَنَانَا
“ Betapa beruntungnya kami “
صَلُّوا عَلى خَيرِ الاَنَام المُصطَفَى بَدرِالتَّمَام
“ Berselawatlah ke atas sebaik-baik manusia (Muhammad SAW) yang terpilih, sang bulan purnama “
صَلُّوا عَلَيهِ وَسَلِّمُوا يَشفَع لَنَأ يَومَ الزِّحَام
“ Sampaikanlah salam kepadanya, moga diberi syafaat di hari kebangkitan “.
يَا هَنَانَا
“ Betapa beruntungnya kami “
Di mana makna yang mengandung kesyirikan atau kesesatan ?? dalam bait qasidah di atas tidak lebih mengandung beberapa hal yaitu :
1. Rasa gembira dengan wujudnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan anugerah dan keutamaan dari Allah untuk umat Manusia khususnya kaum muslimin. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
قل بفضل الله وبرحمته فبذالك فاليفرحوا
” Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 57). Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menfasirkannya : “ Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad “.[6]
Beliau juga merupakan karunia agung yang Allah berikan untuk kita dan patut kita syukuri, dalam hadits disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُولَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: «مَا أَجْلَسَكُمْ؟» قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَابه، قَالَ: «آ? مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ». قَالُوا: وَالله! مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ قَالَ: «أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ المَلاَئِكَةَ
Dari Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam keluar mendatangi perkumpulan majlis sahabatnya lalu berkata, “ Hal apa gerangan yang membuat kalian berkumpul di majelis ini ? ”. Para sahabat menjawab, “ Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama Islam dan atas karunia yang diberikan-Nya dengan sebabnya “.Nabi bertanya kembali : “Demi Allah, apakah tidak ada hal lain lagi yang membuat kalian berkumpul di majelis ini selain hal itu? ” para shahabat menjawab, “ Demi Allah, tidak ada hal lain yang membuat kami berkumpul selain itu semua”. Nabi bersabda kepada mereka : “Sesungguhnya aku tidaklah bersumpah untuk suatu keburukan, akan tetapi sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengkhabarkan bahwa para malaikat sangat berbangga dengan kalian semua ”.[7]
Dari hadis ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : dibolehkannya berkumpul untuk berzikir dan berdoa, dibolehkannya membuat majelis tertentu untuk memperingati karunia hidayah dan syukur terhadap nikmat, dibolehkannya berkumpul untuk bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa diutusnya Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ucapan para sahabat “Kami berkumpul disini tidak lain hanya untuk memanjatkan doa kepada Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada agama kita dan atas karunia yang diberikan-Nya. Bukankah Nabi Muhammad yang menjadi sebab kita mendapat hidayah Islam bahkan menjadi umat yang paling utama dari semua umat lainnya ??
2. Mengungkapkan bahwa beliau makhluk yang paling baik akhlak dan fisiknya. Ini juga sesuai dengan hadits Nabi sendiri :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجهاً وأحسنه خلقاً،
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah paling bagusnya manusia dari segi wajah dan akhlaknya “. (HR. Muslim)
3. Mengungkapkan bahwa nama beliau disebut-sebut oleh semua manusia sama ada barat ataupun Timur. Ini sangat banyak sekali dalilnya, bahkan merupakan perintah dari Allah untuk bersholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan setiap waktu bahkan setiap saat di dunia ini selalu disebutkan nama Nabi Muhamamd shallahllahu ‘alaihi wa sallam melalui lantunan adzan sholat lima waktu. Jelas sudah qasidah ini sangat sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah, hanya orang bodoh yang menuduhnya syirik atau sesat. Naudzu billahi min dzaalik…
Shofiyyah an-Nuuriyyah
Pasuruan, 1-4-2014
[1] Irsyadul Mu’minin ila Fadha’ili Dzikri Rabbil ‘Alamin, hlm. 16
[2] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/276
[3] Ihya Ulumuddin, al-Ghazali : 2/300-301
[4] Kaff ar-Ria’a ;an Muharramat al-Lahwi wa as-Sima’, Ibn Hajar al-Haitsami : 45
[5] Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra : 10/296
[6] Ad-Durr al-Mantsur, as-Suyuthi : 7/668
[7] Ditakhrij imam Muslim. Disebutkan dalam Tahdzib al-Kamal, al-Mizzi : 3196
No comments:
Post a Comment