Wednesday, August 28, 2013

Kenangan - bersama Majlis Habib Zein Smith

Majlis Guru Mulia Al Habib Zein Smith di Kelantan - makan di rumah Dato Husam Musa

KENALI AL HABIB ZEIN SEMITH 
Selama ini, masyarakat kita dikenal berwatak paternalistik. Maka tak heran jika dalam keseharian mereka, terutama dalam hal amaliah agama,  warga nahdliyin tak bisa lepas dari sosok yang disebut ulama. Sebagai 
panutan, mereka tak hanya berasal dari pribumi, tetapi juga ulama asal Timur Tengah, yang biasa disebut Habib atau Sayyid.

Hubungan antara nahdliyin dengan habaib begitu eratnya, hingga pada sebagian masyarakat penghormatan kepada mereka melebihi penghormatan kepada ulama pribumi. Selain kapasitas keilmuan, ini tak lain karena 
faktor geneologis, bahwa mereka adalah keturunan Rasulullah SAW.

Sepeninggal Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki (Mekah), figur habaib Timur Tengah seakan punah. Tetapi ternyata tidak. Sebut saja Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakr bin Salim asal Hadramaut, yang 
tak jarang datang ke negara kita demi menularkan ilmunya, di samping mengobati kerinduan warga ahlus sunnah wal-jama’ah di Tanah Air kepada ulama besar Timur Tengah.

Selain Habib Umar, terdapat seorang habib yang kini tinggal di Madinah. Habib Zain Ibrahim namanya, bermarga (fam) Sumaith. Siapa sangka ulama 
kesohor di Tanah Haram itu kelahiran Indonesia?

Nama dan Nasabnya
Beliau adalah al-Allamah al-Muhaqqiq al-Faqih al-'Abid az-Zahid al-Murabbi ad-Da'i ilallah, as-Sayyid al-Habib Abu Muhammad Zain bin Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Salim bin Abdullah bin Muhammad Sumaith bin Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwy bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwy ('Ammul al-Faqih al-Muqqadam) bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qatsam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba'Alawy bin 'Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rummi bin Muhammad An-Naqib bin Ali al-'Uraidhi bin Ja'far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah binti Rasulullah SAW.

Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.

Sejak kecil Habib Zain sudah mengenal agama dengan baik, baik ilmu pengetahuan maupun amaliah sehari-hari. Mengetahui Habib Zain memiliki kelebihan dibanding saudara- saudara lainnya, ayahnya memberikan pendidikan ekstra. Tak hanya ilmu, akhlak pun ditekankan pada diri Habib Zain. 

Belajar dan Guru-gurunya
Mengunjungi para ulama contohnya. Seperti diketahui, mengunjungi (dalam bahasa Jawa: sowan) sudah menjadi tradisi bagi sebagian umat Islam, seperti Jawa dan Arab asal Hadramaut Yaman. Tak sekadar silaturahmi, tapi yang diharapkan adalah berkah doa dari mereka, para ulama. Sowan inilah yang dijadikan salah satu mediasi oleh Habib Ibrahim dalam mendidik Habib Zain. Dari rasa cinta dan hormat (mahabbah dan ta’ dzim), lalu muncul pada diri Habib Zain rasa ingin menjadi seperti mereka, paling tidak meneladani perilaku mereka. Sejak itu, Habib Zain mengais ilmu dari ulama-ulama Betawi. Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke Majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, salah satu pemuka kalangan saddah 'Alawiyyin yang bermukim di Bogor (Beliau dimakamkan di kubah gurunya Al-Habib Abdullah bin Mukhsin al-Aththas, Mesjid An-Nur, Empang Bogor). Beliau menghadiri maulud yang biasa diadakan di rumah Habib Alwy setiap ashar di hari Jum'at. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Selain Habib Alwi, masa kecil Habib Zain banyak dihabiskan untuk menimba ilmu kepada Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi (Kwitang, dekat Pasar Senen Jakarta Pusat). Di sini, Habib Zain paling tidak hadir seminggu sekali, mengikuti majlis rutin yang digelar tiap Ahad pagi. Selanjutnya, pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim.

Guru-gurunya al-habib Zain bin Ibrahim bin Smith diantaranya adalah 
  • al-Habib Alwy bin Muhammad bin Thohir al-Hadad
  • Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh, 
  • Habib Umar bin Alwi al-Kaf, 
  • Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, 
  • Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, 
  • Habib Salim bin Alwi Al-Khird, 
  • Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, 
  • Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar (mertuanya).
  • Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil
  • Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aththas
  • Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl
  • Habib Muhammad bin Hadi Assaqof, 
  • Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, 
  • Habib Umar bin Ahmad bin Smith, 
  • Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, 
  • Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan 
  • Habib Muhammad bin Ahmad Assyatiri
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.

Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah
lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada al-'Allamah al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahnya al-Habib Umar bin Hafizh Darul Musthafa-Tarim, di bawah asuhan al-Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri yang beliau hafal sampai bab Jinayat.

Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah
As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.

Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, kepadanya beliau membaca kitab "Mutammimah al-Ajurumiyah", menghapal kitab "Alfiyyah" karya Ibnu Malik, dan mulai mempelajari syarah kitab itu padanya.

Beliau menimba ilmu Fiqih dari al-Allamah asy-Syaikh Mahfuzh bin Salim az-Zubaidi dan dari seorang syaikh yang Faqih Syekh Salim Sa’id
Bukhayyir Baghitsan. Beliau juga membaca kitab "Mulhah al-I'rab" karya al-Hariri dengan Habib Salim bin Alwi Al-Khird. Dalam ilmu ushul, beliau mengambil dari Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl dan al-Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, kepada mereka berdua, beliau juga membaca kitab matan "al-Waraqat". Beliau juga menghadiri majelis-majelis al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin dan rauhah-nya, juga pelajaran-pelajaran  di Ribath, dan majelis Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.

Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, dan sering pulang pergi ke tempatnya. Beliau mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar Attos bin Abdullah Al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca kitab al-Arba'in karya Imam al-Ghazali. Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding lainnya, juga karena adab, perilaku, dan akhlaknya yang baik.

Selain menimba ilmu di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi As-Saqqaf,
Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof, al-Habib al-Murabbi Hasan bin Abdullah asy-Syatiri dan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan tahun.
al-Habib Muhammad al-Haddar, al-Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiri dan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith (ki-ka)

Kemudian salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman sebelah selatan, untuk mengajar di rubath sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.

Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri, yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana Habib Zain tinggal beberapa saat. Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat mengajar.

Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’i. Beliau merupakan tangan kanan Habib Muhammad al-Haddar. Selama di rubath Baidha, beliau benar-benar berjuang, beribadah dan menempa diri dengan kesungguhan dan keseriusan dalam Muthala'ah (mengkaji) kitab-kitab tafsir, hadist, fiqih, dan lain-lain, juga membaca kitab-kitab salaf. Beliau memiliki semangat yang tak kenal lelah dan jemu dalam mengajar, mendidik murid-murid, dan membimbing mereka yang kurang pandai.

Beliau memilki kedudukan tersendiri di sisi gurunya al-Habib Muhammad al-Haddar. Sehingga bila suatu persoalan ilmiah diajukan kepada Habib Muhammad dan sudah dijawab oleh Habib Zain maka Habib Muhammad mengatakan, "Jika Habib Zain telah menjawab maka tidak perlu lagi ada komentar". Begitulah penilaian gurunya karena sangat percaya dengan keilmuan al-Habib Zain bin Sumaith.

Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz diminta untuk membuka rubath Sayyid Abdurrahman bin Hasan al-Jufri di Madinah. Beliau berangkat pada bulan Ramadhan tahun 1406 H. , Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim asy-Syatiri menguruskan Rubath di Madinah selama 12 tahun, Setelah itu Habib Salim pindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.

Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar. Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zaidan Asy-Syanqiti Al-Maliki, seorang yang sangat alim dan ahli ushul fiqih. Kepadanya beliau membaca kitab at-Tiryaq an-Nafi' 'ala Masail Jami'ul Jawami karya Imam Abu BAkar bin Syahab, Maraqi as-Su'ud karya Syarif Abdullah al-Alawi asy-Syanqithi yang merupakan kitab matan lanjutan dalam ilmu ushul fiqih. 

Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmaddu bin Muhammad Hamid Al-Hasani asy-Syanqithi dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin. Kepadanya beliau membaca Syarh al-Qath, sebagian Syarh Alfiyyah karya Ibnu 'Aqil, Idha'ah ad-Dujunnah karya Imam al-Maqqari dalam akidah, as-Sullam al-Munauraq karya al-Imam al-Akhdari, Isaghuji karya al-Imam al-Abhari, Itmam ad-Dirayah li Qurra an-nuqayah karya Imam Suyuthi, al-Maqshur wa al-Mamdud dan Lamiyah al-Af'al, keduanya karya Ibnu Malik, jilid pertama kitab Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam, dua kitab ilmu shorof, Jauhar al-Maknun dalam ilmu balaghoh. Syaikh Ahmaddu memuuji Habib Zain karena semangat besar dan kesungguhannya dalam menuntu ilmu. Dan kebanyakan membaca kepadanya di Masjid Nabawi yang mulia.

Selama masa ini Habib Zain sering melakukan perjalanan-perjalanan yang diberkahi ke sejumlah negeri Islam untuk berdakwah serta menjumpai para ulama dan para wali. Beliau mengunjungi Syam, Indonesia, Malaysia, Afrika dan lain-lain.

Allah SWT memberi anugerah kepadanya, yaitu mudah diterima orang dan kewibawaan dalam penampilannya. Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Tasbih hampir tidak pernah berpisah dengan tangannya. Selalu mengenakan sorban putih, dan mengenakan sarung dan pakaian sebagaimana kebiasaan para salaf di Hadramaut.
al-Habib Zain memilki pengaturan khusus dalam wirid, zikir dan ibadahnya. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah digelar setelah asar hingga waktu maghrib tiba. Lalu beliau melanjutkan mengajar hingga menjelang Isya. Setelah itu, pergi ke Masjid Nabawi untuk melakukan shalat Isya dan berziarah ke makam datuknya yang mulia dan agung, Rasulullah SAW.

Di antara hasil karya tulis beliau :
  1. al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah al-Ba'Alawi. Kitab terpenting di antara beliau, menjelaskan mengenai thariqah Alawiyyah.
  2. Al-Fuyudhat ar-Rabbaniyyah Min Anfas as-Sadah al-'Alawiyyah. Kitab Tafsir maknawi yang tipis dan menghimpun ucapan Sadah al-Alawiyyin dalam kumpulan ayat al-Qur'an dan Hadist Nabi.
  3. Hidayah ath-Thalibin Fi Bayan Muhimmat ad-Din. kitab Syarh hadist perbincangan antara Jibril.as dan Rasulullah SAW.
  4. Al-Ajwibah al-Ghaliyah Fi 'Aqidah al-Firqah an-Najiyah. Menjelaskan menganai keyakinan orang-orang yang menyimpang dalam bentuk tanya jawab.
  5. al-Futuhat 'Aliyyah Fi al-Khutbah al-Mimbariyyah. Merangkum ceramah-ceramah beliau
  6. HAadayah az-Zairin ila Ad'iyah az-Ziyarah an-Nabawiyyah wa Masyahid as-Shalihin. Kumpulan doa para salaf yang diucapkan ketika ziarah Nabi dan kuburan-kuburan di Haramain dan Hadhramaut.
  7. Majmu'. Kitab manfaat yang bertebaran dalam hukum, doa,dan adab.
  8. Fatawa al-Fiqhiyah. Mengenai fatwa-fatwa fiqih
  9. Tsabat Asanidah wa Syuyukhah. Bentuk naskah berisi sanad dan para gurunya

Semoga menjadi keberkahan bagi kita semua di dunia dan akhirat berkumpul dengan ulama-ulama Allah dan menjadi penegak panji-panji Sayyiduna wa Maulana Muhammad S.A.W. dan kelak mendapat syafa'at dari Nabi kita termulia dan dari Ulama-Ulama Allah SWT.
Amiin Amiin Yaa Robbal Alamiin…..

No comments:

Post a Comment